Minggu, 17 September 2023

Mengurai Dampak Kekerasan Seksual terhadap Kesehatan Mental Wanita: Perspektif Tokophobia

 

sumber: freepik.com

Bukan merupakan hal baru, kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk pelecehan yang paling mengkhawatirkan, dengan dampak yang mendalam terutama pada kesehatan mental wanita. Setiap insiden kekerasan seksual tidak hanya melukai fisik, tetapi juga melukai jiwa, meninggalkan luka-luka yang mungkin tidak terlihat, namun begitu dalam. Dalam dunia di mana kita semakin memahami pentingnya kesehatan mental, sangat penting untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana kekerasan seksual dapat merusak jiwa dan pikiran perempuan.

Namun, dibalik dampak kekerasan seksual yang telah melumpuhkan banyak korban, ada satu aspek yang perlu kita pahami dengan lebih mendalam: tokophobia. Istilah ini mungkin belum meresap sepenuhnya dalam kesadaran kita, tetapi akibatnya dapat begitu mempengaruhi kehidupan perempuan yang telah mengalami kekerasan seksual. Tokophobia menggambarkan rasa takut yang ekstrem terhadap kehamilan dan melahirkan, menciptakan benang merah yang menghubungkan pengalaman traumatis kekerasan seksual dengan perasaan kecemasan yang melingkupi proses kehidupan selanjutnya.

Ketakutan berlebih akan kehamilan dan melahirkan ini bahkan dapat membuat sebagian perempuan merasa benci dan muak terhadap kehamilan. Ketakutan patologis terhadap kehamilan ini dapat menyebabkan seseorang terkadang melakukan tindakan ekstrem untuk menghindari kehamilan. Orang dengan tokophobia mungkin tidak pernah mengalami kehamilan atau mungkin pernah mengalami peristiwa traumatis selama kehamilan sebelumnya yang menyebabkan fobia tersebut. Tingkat keparahan tokophobia pun bisa sangat berbeda-beda. Sebagian perempuan mungkin hanya mengalami tokophobia ringan. Sedangkan sebagian perempuan lain bisa mengalami tokophobia berat. Perempuan dengan tokophobia juga sangat mungkin untuk mengalami kecemasan, depresi, hingga masalah kesehatan lain. Dilansir dari BMJ, pada tahun 2018, peneliti memperkirakan sekitar 0,032% wanita di dunia mengalami phobia ini. Menurut Klinik Cleveland, ada beberapa gejala yang menunjukkan seorang wanita menderita tokophobia yang meliputi:

      Menghindari hubungan seksual.

      Tidak merasa terhubung secara emosional dengan anak yang belum lahir.

      Tidak merasa senang dengan kehamilan.

      Mencoba menyembunyikan fakta kehamilan.

      Merasa terputus dari pasangan atau orang yang dicintai.

Tokophobia sendiri dibagi menjadi dua jenis, yaitu tokophobia primer dan tokophobia sekunder. Tokophobia primer terjadi pada perempuan yang belum pernah melahirkan sebelumnya. Pada perempuan-perempuan ini, ketakutan akan kehamilan dan melahirkan datang dari pengalaman traumatis di masa lalu. Sedangkan tokophobia sekunder terjadi pada perempuan yang sudah pernah melahirkan. Biasanya, mereka memiliki pengalaman melahirkan yang traumatis sehingga mereka takut untuk hamil dan melahirkan lagi.

Dilansir kembali dari Klinik Cleveland, mereka mengungkapkan jika orang dengan tokophobia juga lebih cenderung memilih operasi caesar jika mereka hamil, melakukan aborsi jika mereka hamil atau menyerahkan bayi mereka untuk diadopsi. Meskipun memiliki beberapa kekhawatiran tentang kehamilan adalah hal yang normal, orang dengan tokophobia "hadir dengan tekanan yang parah dan pikiran serta perilaku menghindar, hingga melampaui apa yang dapat dianggap sebagai reaksi normal," ungkap Dr. Misty Richards, seorang psikiater yang berspesialisasi dalam perinatal kesehatan mental di UCLA Health.

Terdapat sebuah penelitian yang dilakukan oleh dokter kandungan di West Midlands dan psikiater di unit ibu dan bayi (MBU) di Rumah Sakit Jiwa Queen Elizabeth di Birmingham. Dari 26 wanita yang menjadi subjek penelitian, dimana semua wanita tersebut telah menikah dan memiliki anak. Dalam penelitian tersebut, dibuahkan hasil yang menunjukkan terdapat delapan wanita memiliki ketakutan akan melahirkan sebelum kehamilan (tokophobia primer). Empat dari delapan wanita tersebut namun telah merencanakan kehamilan meskipun mereka ketakutan. Dan dua diantaranya memiliki keinginan yang besar untuk menjadi seorang ibu karena ingin merasakan peran mendalam menjadi ibu.

Hasil dari kehamilan mereka yang mengalami tokophobia primer, empat diantaranya mengalami persalinan ideal dan tidak mengalami gangguan psikologis yang serius. Sedangkan tiga lainnya mengalami persalinan pervaginam (normal), namun menderita depresi pasca melahirkan, dimana dua diantaranya mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stress pasca trauma.

Lebih lanjut lagi, penelitian tersebut juga menjelaskan penyebab-penyebab terjadinya tokophobia diantara respondennya. Salah satunya yaitu adanya pelecehan seksual semasa kecil. Lima wanita dari sampel penelitian tersebut menggambarkan riwayat pelecehan seksual masa kanak-kanak dan tiga pemerkosaan traumatis. Riwayat kekerasan seksual tersebut dibarengi dengan keengganan untuk melakukan perawatan rutin yang terkait dengan tokophobia primer atau tokophobia sekunder sebagai gejala depresi. Sehingga, trauma persalinan pervaginam dapat menyebabkan kebangkitan ingatan akan pelecehan seksual masa kanak-kanak dan berkontribusi pada tokophobia sekunder.        

Untuk pengobatan tokophobia sendiri, penderita biasanya akan diobati dengan terapi perilaku kognitif (CBT). Pengobatan ini dilakukan dengan mengidentifikasi pikiran dan perasaan yang mendasari rasa takut melahirkan dan berupaya mengevaluasinya dengan cara membantu penderita mendapatkan perspektif baru mengenai kehamilan maupun melahirkan. Penanganan tokophobia juga sangat membutuhkan peran dari lingkungan penderita itu sendiri, seperti dari anggota keluarga. Hal ini sebagai bentuk perhatian dan dukungan bagi penderita.

Dari hasil ringkasan penelitian di atas, dampak jangka panjang dari kekerasan seksual yang pernah dialami oleh wanita menjadi masalah yang serius karena dapat menyebabkan trauma dan ketakutan yang berkepanjangan. Hal ini tentu saja telah melukai psikologis korban kekerasan seksual yang berdampak pula pada kesehatan mentalnya. Lebih jauh lagi, trauma akan kekerasan seksual ini juga bisa berujung pada tokophobia.

Pentingnya pendidikan tentang kekerasan seksual dan tokophobia semakin terpancar sebagai suara yang harus terdengar dan tulisan yang harus terbaca. Dengan memahami lebih dalam tentang bagaimana kekerasan seksual dan tokophobia saling terkait, kita dapat membangun pijakan yang lebih kokoh untuk mendukung perempuan yang selama ini merasa terpinggirkan oleh trauma. Dengan merangkul kepekaan terhadap pengalaman mereka, kita tidak hanya menghidupkan suara-suara yang terpendam, tetapi juga membuka pintu bagi perubahan yang lebih luas dalam cara kita memahami dan merawat kesehatan mental perempuan.

Sehingga penting untuk kembali menegaskan betapa dalamnya dampak yang ditimbulkan pada kesehatan mental wanita. Melalui bukti empiris dan narasi nyata, artikel ini telah menggarisbawahi betapa kerentanannya kesehatan mental perempuan terhadap luka-luka batin yang disebabkan oleh kekerasan seksual. Kesadaran akan hal ini adalah langkah pertama menuju pemberian perhatian dan perawatan yang sesuai bagi para korban.

Namun, bukan hanya tanggung jawab bagi para ahli dan lembaga, tetapi juga merupakan tugas kita sebagai individu dan masyarakat. Dukungan dan empati kita memiliki kekuatan untuk menyembuhkan, untuk membantu mereka yang berjuang melintasi lorong kegelapan dalam diri mereka. Kita harus menciptakan lingkungan yang aman, di mana suara-suara terdengar dan tidak ada ruang bagi kekerasan seksual dengan segala bentuknya. Dengan begitu, kita membantu mengubah arah perjalanan mereka menuju pemulihan dan kesejahteraan, serta menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua.

 

Sabtu, 16 September 2023

Perpustakaan Masa Depan: Menuju Perpustakaan Cerdas dan Berbudaya

     sumber: freepik.com

Perpustakaan, menjadi sebuah tempat yang membosankan untuk beberapa orang. Tempat yang hanya dipenuhi oleh buku dan kesunyian disepanjang sudut ruangannya. Namun, apakah persepsi ini bisa diubah? Apakah perpustakaan dapat menjadi tempat yang menyenangkan dan ramai dikunjungi? Menurut saya, jawabannya bisa. Melihat perpustakaan zaman sekarang, saya merasa miris. Hanya ramai karena banyaknya buku, bukan pengunjung. Meskipun begitu, saya berpendapat bahwa kondisi ini bisa diubah.  Untuk mewujudkan perubahan ini, tentu tidak terjadi dalam semalam, masih banyak hal-hal yang harus diatasi dan ditingkatkan untuk mencapai perpustakaan masa depan yang cerdas dan berbudaya.

Cerdas berarti perpustakaan dapat membentuk masyarakat yang mampu menerapkan ilmu pengetahuan untuk kemajuan dirinya dan lingkungannya. Serta berbudaya, yang artinya perpustakaan dapat membentuk manusia yang berbudaya, yaitu manusia yang dapat mengimplementasikan nilai-nilai moral budaya dalam kehidupannya. Namun, dalam mewujudkannya akan ada tantangan-tantangan seperti kemajuan teknologi, kebutuhan masyarakat yang terus berubah, dan keterbatasan sumber daya. Meskipun begitu, saya tetap percaya, bahwa perpustakaan akan tetap relevan dan memiliki peran penting dalam masyarakat terutama di masa depan nanti.

Dengan memposisikan diri sebagai masyarakat 5.0, yaitu masyarakat masa depan yang akan berfokus pada kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), dan teknologi yang terus berkembang untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, maka perpustakaan dapat menjadi salah satu tempat untuk pengembangan kemajuan tersebut. Dalam pandangan masyarakat 5.0, perpustakaan dapat memiliki peran yang penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih cerdas dan berbudaya.

Sebagai masyarakat 5.0, perpustakaan di masa depan diharapkan menjadi pusat informasi dan pengetahuan yang melibatkan teknologi terkini seperti kecerdasan buatan, Internet of Things (IoT), dan big data untuk memberikan layanan yang lebih efektif dan efisien. Selain itu, perpustakaan juga diharapkan menjadi pusat kegiatan sosial dan budaya yang dapat mendorong terciptanya masyarakat yang lebih berbudaya. Perpustakaan masa depan dalam pandangan masyarakat 5.0 juga diharapkan dapat memberikan akses ke sumber daya informasi yang lebih luas dan bervariasi bagi pengguna.

Dan sebagai tempat pengembangan dan pembelajaran untuk masyarakat, perpustakaan masa depan juga diharapkan dapat menyediakan berbagai fasilitas penunjang untuk dapat menjadi pusat inovasi dan pengembangan teknologi yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup manusia nantinya. Hal ini dapat mencakup fasilitas laboratorium dan akses ke perangkat lunak dan peralatan teknologi terbaru untuk membantu masyarakat menciptakan inovasi-inovasi baru.

Beberapa bentuk evolusi dan perubahan perpustakaan masa depan yang kemungkinan akan terjadi, antara lain:

1.    1.  Perpustakaan Berbasis Digital

                                                                    sumber: unsplash.com
Membahas mengenai masa depan, tentu tidak lepas dari istilah digitalisasi. Suatu kondisi dimana berbagai aspek kehidupan manusia beralih ke arah digital. Digitalisasi sudah banyak kita rasakan sekarang ini. Contohnya seperti kehadiran ebook atau buku elektronik. Jika dulu kita hanya mengenal buku cetak, kini kita mudah menemukan buku yang sama namun dalam bentuk digital, atau yang disebut ebook tadi. Di era digital yang semakin maju ini, perpustakaan dalam bentuk digital juga kemungkinan dapat terjadi. Dimana dalam perpustakaan digital ini, memungkinkan semua orang dapat mengakses berbagai jenis buku dan sumber daya perpustakaan dimana saja dan kapan saja. Hal ini memungkinkan cakupan dari perpustakaan akan semakin luas dan memberikan akses sumber daya yang lebih luas juga kepada penggunanya.

2.    2.  Perpustakaan dengan Staff Robot

                                                                        sumber: freepik.com

Jika di jaman sekarang kita masih melihat ada pegawai di perpustakaan, entah itu pegawai kebersihan perpustakaan, pegawai yang mencatat buku masuk dan keluar, atau pegawai yang menjaga perpustakaan, maka ada kemungkinan pekerjaan-pekerjaan tersebut akan tergantikan dengan hadirnya robot perpustakaan. Hal ini disebabkan, jika kita melihat beberapa industri sekarang, beberapa negara bahkan di Indonesia, peran manusia telah digantikan oleh robot. Salah satu contohnya robot pelayan restoran di sebuah restoran di Lampung. Munculnya hal semacam ini, tentu akan mengancam berbagai pekerjaan pelayanan lainnya, salah satunya pegawai perpustakaan. Kemajuan teknologi seperti mesin pembaca barcode dan sistem keamanan, akan memungkinkan perpustakaan dapat beroperasi tanpa adanya staff atau pegawai. Perpustakaan seperti ini nantinya akan beroperasi secara mandiri namun tetap dapat memberikan akses sumber daya perpustakaan kepada penggunanya.

3.     3. Perpustakaan Berakses Global

                                                                        sumber: pixabay.com

Kemajuan teknologi yang semakin pesat turut membawa pengaruh yang besar bagi tatanan kehidupan global. Internet berperan besar dalam hal ini. Setelah munculnya internet, batas antarnegara seolah semakin menyempit. Membuat kita dapat dengan mudah memperoleh informasi tentang daerah bahkan negara lain dengan mudah dan cepat. Kemudahan akses dalam globalisasi kemungkinan juga akan berdampak pada perpustakaan masa depan. Dimana, akan terbentuk perpustakaan global digital, yang akan menampung berbagai jenis buku dari berbagai negara dalam bentuk elektronik. Tentunya hal ini akan memudahkan bagi banyak orang untuk mendapatkan sumber daya perpustakaan dari negara lain. Mencakup seluruh sumber daya dari seluruh dunia dan memberikan akses ke sumber daya yang tidak tersedia di perpustakaan lokal.

4.     4. Perpustakaan Ramah Lingkungan

                                                                    sumber: freepik.com

Jika perkembangan teknologi di jaman sekarang saja sudah dikatakan cepat dan pesat, lantas bagaimana di masa yang akan datang? Dengan fasilitas, ilmu pengetahuan, dan sumber daya pendukung yang berkualitas, kemungkinan kemajuan dalam teknologi akan semakin mengerikan lagi. Oleh karena itu, dalam pengembangan teknologi juga harus memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Dalam hal ini, perpustakaan masa depan dapat berfokus pada keberlanjutan dan mencapai tujuan ramah lingkungan. Untuk mewujudkan perpustakaan yang ramah lingkungan, dapat menggunakan teknologi hijau, atau teknologi ramah lingkungan, seperti penggunaan lampu LED dan sumber energi terbarukan untuk menyalakannya. Misalnya, sumber listrik berasal dari PLTA. Serta praktek-praktek lainnya yang ramah lingkungan, seperti penggunaan kertas daur ulang untuk membuat buku cetak atau menggalakkan program daur ulang buku yang sudah tidak terpakai.

Berbagai kemungkinan dapat saja terjadi dalam mengembangkan perpustakaan masa depan ini. Semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi, akan turut mengubah budaya dan kondisi sosial masyarakat. Namun, tidak akan mengubah peran penting perpustakaan. Perpustakaan masa depan tetap akan menjadi tempat terpenting dalam aspek pendidikan, penelitian, dan pengembangan diri. Dengan teknologi dan akses global yang semakin maju, perpustakaan dapat memberikan akses ke sumber daya yang lebih luas dan bervariasi bagi pengguna dari berbagai latar belakang.

Agar perpustakaan masa depan dapat tetap relevan dan bersaing nantinya, perpustakaan juga harus terus melakukan inovasi dan beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat 5.0. Seperti pengembangan teknologi yang inovatif dan ramah lingkungan, program pendidikan yang menarik dan berkelanjutan, serta menerapkan strategi pemasaran yang terencana untuk meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat pada perpustakaan. Sehingga, nantinya perpustakaan masa depan dapat turut serta dalam mencerdaskan masyarakat dan membentuk masyarakat yang berbudaya.