sumber: freepik.com
Bukan
merupakan hal baru, kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk pelecehan yang
paling mengkhawatirkan, dengan dampak yang mendalam terutama pada kesehatan
mental wanita. Setiap insiden kekerasan seksual tidak hanya melukai fisik,
tetapi juga melukai jiwa, meninggalkan luka-luka yang mungkin tidak terlihat,
namun begitu dalam. Dalam dunia di mana kita semakin memahami pentingnya
kesehatan mental, sangat penting untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana
kekerasan seksual dapat merusak jiwa dan pikiran perempuan.
Namun,
dibalik dampak kekerasan seksual yang telah melumpuhkan banyak korban, ada satu
aspek yang perlu kita pahami dengan lebih mendalam: tokophobia. Istilah ini
mungkin belum meresap sepenuhnya dalam kesadaran kita, tetapi akibatnya dapat
begitu mempengaruhi kehidupan perempuan yang telah mengalami kekerasan seksual.
Tokophobia menggambarkan rasa takut yang ekstrem terhadap kehamilan dan
melahirkan, menciptakan benang merah yang menghubungkan pengalaman traumatis
kekerasan seksual dengan perasaan kecemasan yang melingkupi proses kehidupan
selanjutnya.
Ketakutan
berlebih akan kehamilan dan melahirkan ini bahkan dapat membuat sebagian
perempuan merasa benci dan muak terhadap kehamilan. Ketakutan patologis
terhadap kehamilan ini dapat menyebabkan seseorang terkadang melakukan tindakan
ekstrem untuk menghindari kehamilan. Orang dengan tokophobia mungkin tidak
pernah mengalami kehamilan atau mungkin pernah mengalami peristiwa traumatis selama
kehamilan sebelumnya yang menyebabkan fobia tersebut. Tingkat keparahan tokophobia pun
bisa sangat berbeda-beda. Sebagian perempuan mungkin hanya mengalami tokophobia
ringan. Sedangkan sebagian perempuan lain bisa mengalami tokophobia berat.
Perempuan dengan tokophobia juga sangat mungkin untuk mengalami kecemasan,
depresi, hingga masalah kesehatan lain. Dilansir dari BMJ, pada tahun 2018, peneliti
memperkirakan sekitar 0,032% wanita di dunia mengalami phobia ini. Menurut
Klinik Cleveland, ada beberapa gejala yang menunjukkan seorang wanita menderita
tokophobia yang meliputi:
●
Menghindari hubungan
seksual.
●
Tidak merasa terhubung
secara emosional dengan anak yang belum lahir.
●
Tidak merasa senang
dengan kehamilan.
●
Mencoba menyembunyikan
fakta kehamilan.
●
Merasa terputus dari
pasangan atau orang yang dicintai.
Tokophobia sendiri dibagi menjadi dua
jenis, yaitu
tokophobia primer dan tokophobia sekunder. Tokophobia primer terjadi pada
perempuan yang belum pernah melahirkan sebelumnya. Pada perempuan-perempuan
ini, ketakutan akan kehamilan dan melahirkan datang dari pengalaman traumatis
di masa lalu. Sedangkan tokophobia sekunder terjadi pada perempuan yang sudah
pernah melahirkan. Biasanya, mereka memiliki pengalaman melahirkan yang
traumatis sehingga mereka takut untuk hamil dan melahirkan lagi.
Dilansir
kembali dari Klinik Cleveland, mereka mengungkapkan jika orang dengan
tokophobia juga lebih cenderung memilih operasi caesar jika mereka hamil,
melakukan aborsi jika mereka hamil atau menyerahkan bayi mereka untuk diadopsi.
Meskipun memiliki beberapa kekhawatiran tentang kehamilan adalah hal yang
normal, orang dengan tokophobia "hadir dengan tekanan yang parah dan
pikiran serta perilaku menghindar, hingga melampaui apa yang dapat dianggap
sebagai reaksi normal," ungkap Dr. Misty Richards, seorang psikiater yang
berspesialisasi dalam perinatal kesehatan mental di UCLA Health.
Terdapat
sebuah penelitian yang dilakukan oleh dokter kandungan di West Midlands dan psikiater di unit ibu dan bayi
(MBU) di Rumah Sakit Jiwa Queen Elizabeth di Birmingham. Dari 26 wanita
yang menjadi subjek penelitian, dimana semua wanita tersebut telah menikah dan
memiliki anak. Dalam penelitian tersebut, dibuahkan hasil yang menunjukkan
terdapat delapan wanita memiliki ketakutan akan melahirkan sebelum kehamilan
(tokophobia primer). Empat dari delapan wanita tersebut namun telah
merencanakan kehamilan meskipun mereka ketakutan. Dan dua diantaranya memiliki
keinginan yang besar untuk menjadi seorang ibu karena ingin merasakan peran
mendalam menjadi ibu.
Hasil dari kehamilan mereka yang
mengalami tokophobia primer, empat diantaranya mengalami persalinan ideal dan
tidak mengalami gangguan psikologis yang serius. Sedangkan tiga lainnya
mengalami persalinan pervaginam (normal), namun menderita depresi pasca
melahirkan, dimana dua diantaranya mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stress pasca
trauma.
Lebih lanjut lagi, penelitian tersebut
juga menjelaskan penyebab-penyebab terjadinya tokophobia diantara respondennya.
Salah satunya yaitu adanya pelecehan seksual semasa kecil. Lima wanita dari
sampel penelitian tersebut menggambarkan riwayat pelecehan seksual masa
kanak-kanak dan tiga pemerkosaan traumatis. Riwayat kekerasan seksual tersebut
dibarengi dengan keengganan untuk melakukan perawatan rutin yang terkait dengan
tokophobia primer atau tokophobia sekunder sebagai gejala depresi. Sehingga,
trauma persalinan pervaginam dapat menyebabkan kebangkitan ingatan akan
pelecehan seksual masa kanak-kanak dan berkontribusi pada tokophobia
sekunder.
Untuk
pengobatan tokophobia sendiri, penderita biasanya akan diobati dengan terapi
perilaku kognitif (CBT). Pengobatan ini dilakukan dengan mengidentifikasi
pikiran dan perasaan yang mendasari rasa takut melahirkan dan berupaya
mengevaluasinya dengan cara membantu penderita mendapatkan perspektif baru
mengenai kehamilan maupun melahirkan. Penanganan tokophobia juga sangat
membutuhkan peran dari lingkungan penderita itu sendiri, seperti dari anggota
keluarga. Hal ini sebagai bentuk perhatian dan dukungan bagi penderita.
Dari
hasil ringkasan penelitian di atas, dampak jangka panjang dari kekerasan
seksual yang pernah dialami oleh wanita menjadi masalah yang serius karena
dapat menyebabkan trauma dan ketakutan yang berkepanjangan. Hal ini tentu saja
telah melukai psikologis korban kekerasan seksual yang berdampak pula pada
kesehatan mentalnya. Lebih jauh lagi, trauma akan kekerasan seksual ini juga
bisa berujung pada tokophobia.
Pentingnya
pendidikan tentang kekerasan seksual dan tokophobia semakin terpancar sebagai
suara yang harus terdengar dan tulisan yang harus terbaca. Dengan memahami
lebih dalam tentang bagaimana kekerasan seksual dan tokophobia saling terkait,
kita dapat membangun pijakan yang lebih kokoh untuk mendukung perempuan yang
selama ini merasa terpinggirkan oleh trauma. Dengan merangkul kepekaan terhadap
pengalaman mereka, kita tidak hanya menghidupkan suara-suara yang terpendam,
tetapi juga membuka pintu bagi perubahan yang lebih luas dalam cara kita
memahami dan merawat kesehatan mental perempuan.
Sehingga
penting untuk kembali menegaskan betapa dalamnya dampak yang ditimbulkan pada
kesehatan mental wanita. Melalui bukti empiris dan narasi nyata, artikel ini
telah menggarisbawahi betapa kerentanannya kesehatan mental perempuan terhadap
luka-luka batin yang disebabkan oleh kekerasan seksual. Kesadaran akan hal ini
adalah langkah pertama menuju pemberian perhatian dan perawatan yang sesuai
bagi para korban.
Namun,
bukan hanya tanggung jawab bagi para ahli dan lembaga, tetapi juga merupakan
tugas kita sebagai individu dan masyarakat. Dukungan dan empati kita memiliki
kekuatan untuk menyembuhkan, untuk membantu mereka yang berjuang melintasi
lorong kegelapan dalam diri mereka. Kita harus menciptakan lingkungan yang
aman, di mana suara-suara terdengar dan tidak ada ruang bagi kekerasan seksual
dengan segala bentuknya. Dengan begitu, kita membantu mengubah arah perjalanan
mereka menuju pemulihan dan kesejahteraan, serta menciptakan dunia yang lebih
baik bagi semua.